KUMPULAN PANTUN | Pengantar Pantun Ajip Rosidi
PENGANTAR
Pantun sebagai bentuk puisi sangat digemari di seluruh Nusantara. Setiap bait lariknya selalu genap dan terbagi menjadi dua, ada yang setiap baitnya terdiri dari 2, 4, 6, 8, 10, 12 larik ... dan seterusnya. Larik bagian yang pertama disebut sampiran, sedangkan bagian yang kedua disebut isi. Sering tidak ada hubungan apa-apa antara bagian sampiran dengan isi, kecuali persamaan bunyi akhir: larik pertama berbunyi akhir sama dengan larik ketiga, larik yang kedua berbunyi akhir sama dengan larik keempat. Dan kalau lebih dari empat larik, maka larik ketiga berbunyi akhir sama dengan yang keenam, dan larik yang keempat berbunyi akhir sama dengan larik kedelapan, dan seterusnya.
Dalam banyak bahasa daerah bentuk puisi demikian terdapat juga. Dalam bahasa Sunda ada sisindiran, dalam bahasa Jawa ada parikan, dalam bahasa Batak ada pardohom, dan lain-lain. Tapi bukan hanya kepopulerannya saja maka bentuk puisi pantun istimewa. Menurut hasil penelitian para ahli, pantun merupakan bentuk puisi asli Nusantara. Pantun hanya ditemukan di dalam bahasabahasa Nusantara, tidak terdapat dalam bahasa-bahasa lain.
Pada awal kelahiran sastera Indonesia modern, pantun pernah populer. Balai Pustaka dan penerbitpenerbit lain banyak menerbitkan buku pantun. Tapi sejak , awal tahun 1930-an, setelah S. Takdir Alisjahbana mengejek pantun sebagai ocehan nyinyir nenek-nenek yang tak ada kerja, maka semangat menulis pantun menjadi padam.1 Penerbitan buku pantun tidak dilakukan orang lagi. Dalam majalah-majalah hanya ruangan kanak-kanak yang sekali-sekali memuatkan pantun. Namun demikian dalam kehidupan masyarakat pantun tidak mati. Orangorang Melayu tetap menandak sambil menyanyi berbalasbalasan pantun. Begitu juga orang Sunda dalam nyanyian kawih-nya banyak menggunakan sisindiran. Dan orang Jawa pun sampai sekarang banyak menyanyikan parikan. Di Malaysia setiap tahun ada lomba berbalas-balasan pantun, di samping di Kelantan ada yang disebut dikir barat, yaitu semacam kelompok nyanyian dengan tukang karut sebagai penyanyi utama, diikuti oleh para penyanyi yang lain.
Dalam sastera bahasa Indonesia modern juga pantun sering muncul. Sanusi Pane, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, dan lain-lain, kadang-kadang menulis pantun atau menyelipkan pantun dalam sajak-sajaknya. Hal itu menunjukkan bahwa pantun sebagai bentuk puisi tradisional Nusantara tetap bergema dalam lubuk hati para penyairnya, yang modern sekalipun. Memang ada kecenderungan orang merasa malu menulis pantun, karena takut disamakan dengan nenek-nenek nyinyir yang tak ada kerja oleh S. Takdir Alisjahbana. Pantun dianggap bentuk puisi kuno yang sudah ketinggalan zaman.
Tapi mengapa soneta tidak dianggap kuno, malah dianggap modern? Para penyair Pujangga Baru kawan seangkatan S. Takdir Alisjahbana banyak yang menulis soneta. Padahal soneta mungkin lebih tua daripada pantun dan tidak mustahil di negeri asalnya sudah menjadi semacam kerajinan nenek-nenek tua nyinyir yang tak ada kerja juga. Tapi karena datang dari Barat (yaitu berasal dari Italia masuk ke Indonesia melalui jendela Belanda), soneta tidak dianggap kuno. S. Takdir Alisjahbana sendiri menulis soneta. Bahkan apa yang disebut puisi bebas sekalipun sudah mempunyai tradisi yang cukup tua ketika diperkenalkan oleh para pelopor perpuisian Indonesia modern.
Maka pada akhirnya, yang menentukan sebuah puisi indah atau tidak, berharga atau tidak, bukanlah semata karena bentuknya. Yang penting adalah kreativitas yang mendukungnya. Kalau ditulis oleh nenek-nenek (dan kakek-kakek) yang nyinyir tak ada kerja, maka bentuk puisi bebas juga dapat saja membosankan dan tidak bermutu sama sekali. Sebaliknya bentuk puisi lama dapat saja menyuguhkan sesuatu yang baru kalau lahir dari tangan orang yang kreatif.
Itulah sebabnya saya mencoba menulis pantun sesuai dengan tradisi Melayu. Sebelumnya sudah ada juga pantun yang spontan meluncur dalam beberapa sajak saya, tetapi waktu itu saya tidak berniat menulis pantun.
Kita jangan silau oleh yang datang dari luar, karena yang kita miliki pun cukup berharga. Bukan berarti dengan mata membuta kembali kepada yang lama, melainkan memberinya makna yang baru. Pantun sebagai bentuk saya kira tetap memikat dan dapat menjadi wadah ekspresi seni yang tinggi. Dalam pantun-pantun yang saya tulis, saya masih banyak terikat dengan yang lama. Bahkan sampiran lama saya pergunakan untuk diisi dengan sesuatu yang sesuai dengan visi saya. Saya kira isi demikian jarang atau mungkin tak pernah terdapat dalam pantun Melayu. Dengan demikian saya membuat pantun Melayu tradisional menjadi sesuatu yang baru, karena digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukan orang. Niscaya langkah ini dapat dilanjutkan dengan langkah-langkah lebih jauh oleh para penyair lain yang menganggap bentuk puisi traidsional dapat saja diberi makna baru. Dan bentuk puisi tradisional yang khas tidaklah hanya terdapat dalam bahasa Melayu saja.
A. R.
Mino, Osaka, 30 Maret 2003